Surat Pemakzulan Gibran Disambut Terbuka Fraksi-fraksi di DPR, MPR & DPR Didorong Putuskan Nasibnya
detakpolitik.com JAKARTA - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendadak mencuat kembali ke ruang publik. Desakan tersebut datang bukan dari kalangan partai oposisi atau aktivis sipil biasa, melainkan dari sekelompok figur yang selama ini dikenal sebagai penjaga kehormatan bangsa: Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Dalam sebuah surat yang mereka tujukan kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI tertanggal 26 Mei 2025, Forum ini secara terbuka meminta agar proses pemakzulan Gibran segera digulirkan, menyebut sejumlah alasan yang mereka anggap sebagai cacat etik dan hukum.
Dalam surat tersebut, empat nama besar terpampang jelas sebagai penandatangan: Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Nama-nama ini tidak asing dalam sejarah militer Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang pernah berada dalam inti pertahanan negara, yang disegani dan dihormati karena kontribusinya dalam menjaga keutuhan bangsa. Namun, kini mereka mengambil sikap yang berpotensi memicu kegaduhan politik nasional.
Surat ini segera mengundang tanggapan dari berbagai fraksi di DPR RI. Meski tidak secara gamblang menolak, sebagian besar fraksi menyikapi surat tersebut dengan hati-hati. Sekretaris Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni menegaskan bahwa surat-surat seperti ini sah-sah saja dikirimkan oleh siapapun sebagai bagian dari kebebasan menyampaikan aspirasi. Namun, ia juga mengingatkan bahwa setiap surat akan diprioritaskan sesuai urgensinya oleh Kesetjenan DPR RI. Ia tidak melihat urgensi yang tinggi untuk segera membahas desakan tersebut secara formal.
Fraksi Golkar melalui ketuanya, Muhammad Sarmuji, bahkan secara terang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hukum atau etika yang dilakukan oleh Wapres Gibran sejauh ini yang bisa menjadi dasar untuk pemakzulan. Namun, sebagai bentuk penghormatan terhadap aspirasi publik, surat itu tetap akan diterima dan dipelajari dengan saksama untuk melihat apakah sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Nada serupa juga datang dari Fraksi PKB melalui Daniel Johan yang menyebut bahwa semua surat akan masuk ke pembahasan komisi dan fraksi, meskipun secara pribadi ia mengaku belum membaca isi surat Forum Purnawirawan secara rinci.
Sementara itu, di MPR, Wakil Ketua Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dari Fraksi PDI-P menyampaikan bahwa surat resmi yang masuk akan terlebih dahulu disaring oleh sekretariat, dan hanya jika dianggap penting akan dibahas dalam Rapat Pimpinan (Rapim). Sampai saat ini, belum ada agenda rapim untuk membahas surat tersebut, dan keputusan untuk menggelar rapim berada di tangan Ketua MPR, Ahmad Muzani.
Desakan pemakzulan yang diajukan Forum Purnawirawan TNI berakar dari peristiwa lama yang dianggap belum selesai secara etis: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memungkinkan Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres meski belum berusia 40 tahun. Putusan itu diputuskan saat Mahkamah Konstitusi masih dipimpin oleh Anwar Usman, yang tak lain adalah paman Gibran. Forum ini menilai bahwa keputusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas dan karena itu seharusnya tidak sah.
Mereka pun mengutip putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan bahwa Anwar Usman melanggar etik dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK. Menurut Forum ini, fakta tersebut menjadi dasar yang cukup untuk menyebut pencalonan Gibran sebagai cacat etik dan hukum, dan karenanya, jabatan Wakil Presiden yang kini diembannya layak untuk dicabut.
Tak berhenti di situ, Forum ini juga menuding bahwa Gibran tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjadi wakil kepala negara, hanya berbekal dua tahun sebagai Wali Kota Solo, dan latar belakang pendidikan yang mereka anggap "diragukan". Bahkan, mereka menyentil kontroversi akun media sosial "fufufafa" yang sempat menggemparkan publik, dan secara insinuatif menyebut akun tersebut sebagai cerminan etika buruk Gibran.
Menanggapi polemik ini, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyatakan bahwa surat dari Forum Purnawirawan telah diterima dan diteruskan ke pimpinan DPR. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan belum membaca isi surat tersebut secara langsung.
Secara hukum, prosedur pemakzulan memang dimungkinkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 memberikan ruang bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, atau perbuatan tercela. Setelah MK memutus ada pelanggaran, barulah usulan diteruskan ke MPR untuk diputuskan melalui sidang paripurna dengan persetujuan 2/3 anggota yang hadir.
Namun, seperti diingatkan banyak pihak, proses ini bukan hanya jalur hukum, tapi juga arena politik. Persetujuan DPR dan MPR sangat ditentukan oleh kalkulasi kekuasaan di masing-masing fraksi dan kelompok politik.
Pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, menyatakan bahwa dorongan pemakzulan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menilai bahwa banyak argumen dalam surat Forum Purnawirawan lebih merupakan ekspresi kekecewaan politik ketimbang fakta hukum yang konkret. Yance mengingatkan bahwa konstitusi harus menjadi panglima dalam demokrasi, bukan tekanan opini publik atau emosi politik.
Melihat dinamika ini, muncul keprihatinan mendalam. Bahwa purnawirawan TNI—yang seharusnya menjadi simbol kedewasaan politik dan keteladanan moral bagi generasi penerus bangsa—malah terlibat dalam manuver-manuver politik yang berpotensi mencederai stabilitas demokrasi. Sebagai sosok yang telah purna tugas dari militer, mereka bukan lagi bagian dari rantai komando aktif, dan seyogianya memegang teguh prinsip loyalitas kepada kepemimpinan nasional, termasuk kepada Wakil Panglima Tertinggi, yakni Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Kekhawatiran ini bukan berarti menutup ruang kritik terhadap pemimpin negara. Kritik adalah bagian sah dari demokrasi. Namun, ketika kritik dibungkus dalam desakan pemakzulan, tanpa basis hukum yang kokoh, tanpa etika kenegaraan yang arif, dan datang dari mereka yang dulu bersumpah menjaga kehormatan republik, maka yang tercoreng bukan hanya pejabat yang dikritik, tapi juga martabat lembaga-lembaga yang mereka wakili dulu.
Lebih jauh, publik patut bertanya: apakah gerakan seperti ini benar-benar bertujuan untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan nasional, atau justru menjadi alat bagi pihak tertentu untuk menabur benih kekacauan demi kepentingan politik sesaat? Apakah ini adalah ekspresi kegelisahan atas perubahan generasi, di mana figur muda seperti Gibran mulai memegang tampuk kekuasaan? Ataukah ini bentuk penolakan terhadap transformasi demokrasi yang semakin inklusif, progresif, dan jauh dari pola kekuasaan konservatif masa lalu?
Gibran bukan pemimpin yang sempurna. Ia pun bukan tanpa kontroversi. Namun, sejauh ini ia tidak pernah dinyatakan melanggar hukum oleh lembaga negara yang berwenang. Tidak ada vonis pengadilan, tidak ada keputusan hukum yang membuktikan ia bersalah. Maka, pemakzulan terhadapnya, jika dipaksakan, justru bisa menjadi preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan kita. Bahwa seorang pejabat negara bisa digulingkan hanya karena tidak disukai oleh segelintir elite atau karena putusan hukum yang bersifat tafsir.
Pemakzulan bukanlah instrumen balas dendam politik. Ia adalah mekanisme konstitusional yang sakral, dan karena itu harus dijalankan dengan hati-hati, cermat, dan berdasarkan bukti hukum yang kuat, bukan sekadar opini publik atau persepsi moral kelompok tertentu.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa belajar dewasa dalam berdemokrasi. Kritik boleh, evaluasi perlu, namun semua harus dalam bingkai konstitusi. Kepada Forum Purnawirawan, semoga surat mereka menjadi momentum refleksi, bukan pemantik konflik. Sebab di atas segalanya, mereka tetaplah sosok-sosok penjaga republik yang harus menjadi teladan, bukan pengobar api dalam sekam.
Dan kepada Gibran, tantangan ini adalah batu ujian. Ia mesti menunjukkan bahwa kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya tidak salah tempat. Ia harus menjawab semua tudingan, bukan dengan amarah, tapi dengan kerja, kinerja, dan keteladanan. Di era ketika wibawa sering diukur lewat sensasi, semoga Gibran memilih jalan sunyi dari kontroversi, dan berjuang dalam diam untuk menunjukkan bahwa ia memang layak menyandang amanah Wakil Presiden Republik Indonesia.
(HT/dk)
Apa Reaksi Anda?






